Rabu, 12 Maret 2014

Birahi yang Binal



hati bagaikan kubangan bara api, melesat jauh menuju ketinggian sampai perbatasan pintu-pintu syakor. suara ketukan sahdu merayu sendu, bisu, meraung dalam cekikan gairah dalam pasungan. untuk menjadi manusiawi, kau harus menanggalkan jubah sang darwish, melucuti rasa malu dari tikaman mata-mata pedang yang bersembunyi dibalik tirai sidratul muntaha.

Gairah yang menarik setiap buhul-buhul, melejitkan keinginan dari hati seorang perempuan. kerlingnya bagaikan sinar bintang yang menunggu untuk dipadamkan semburat cahaya fajar, tubuhnya mengelinjang bagaikan hendak memikat yusuf yang pesonanya seolah hendak memeluk ribuan birahi yang sempat tertumpah disetiap cerita nafsu manusia.

Dzikr...demi dzikir dibisikan bersaing dengan pikatan rasa yang mengoyak  kerinduan nyaris tak tertahankan.   Airmata menganak sungai menghakimi satu-satu sisi manusiawi yang di balut jubah kenaifan semu.   rajam saja pesonaku, rajam saja gairahku, rajam saja setiap rasa yang menjadikan tubuhku meliuk bagaikan seekor ular betina yang sedang birahi, rajam saja.....ribuan sabetan cemeti tidak akan juga sampai pada hitungan akhirnya.

bagaimana aku akan mengahakimi kebinalannya, aku tidak pernah berada diantara gemerlap lampu ribuan semburat warna, diantara lenguhan malam, diantara pikatan pingang-pinggang tak berbalut, diantara lembaran rupiah penawar rasa lapar dan harga diri yang telah menjadi bagian dari peradaban manusia yang dibatasi waktu antara kematian dan kebangkitannya, aku hanya duduk bersila menghitung lantai alas sujudku. Menghunus pedang, mengepal batu, memuntahkan caci maki yang berbeda jauh dari nilai dzikir yang aku sembunyikan dibalik bilik-bilki surau. aku belum juga berada satu tingkat dengannya menghadapi nafsu durjana, tarik menarik dengan gairah malam, berkejaran dengan rayuan-rayuan syahwat, aku belum juga pernah tepat dihadapan kaki-kaki setan yang jenjang mengangkang, aku belum lagi menghadapi bagaimana rasanya jiwa berpeluh melawan satwa sangka antara dosa, bertahan hidup atau janji surga yang tersamarkan oleh kata-kataku yang hanya mewakili apa yang aku tau dari ayat-ayat Tuhan yang juga telah aku ubah serumit keangkuhanku.

Selendang putih yang aku balutkan diatas kepalaku, dan mimbar kebesaran tempat aku menghujankan ayat-ayat Tuhan yang aku jadikan tiang-tiang penghakiman bagi manusia-manusia yang sedang birahi hanya akan berubah menjadi kebencian yang berbalik bersaing desing dengan fitrah manusia, karena aku tawarkan dengan bahasa yang nyaris sama dengan pembangkangan yang pernah dinisbahkan kepada iblis dihadapan Adam dan Hawa. Hanya sebuah permainan kata...

Berbicaralah dengan bahasa manusiawi, karena mereka yang bergelimang dosa birahi yang binal, adalah manusia-manusia dungu yang jauh dari wudlu, jika mereka didatangi dengan kenaifan mereka akan berbalik menghakimi, jika mereka didatangi dengan kearifan maka kita hanya perlu menunjukan arah kiblat. by Alfi Arni Makhtaf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar